WALHI: Banjir di Banggai Bukan ‘Curah Hujan Tinggi’ Tapi,’Dampak Kerusakan Hutan’

  • Share

PALU– Banjir melanda Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, diduga dampak kerusakan hutan dihulu akibatnya resapan air dalam kawasan hutan tidak tersedia.

Satu minggu terakhir bencana banjir melanda beberapa Kecamatan berdampak tidak hanya mengancaman nyawa masyarakat namun, menimbulkan kerugian secara ekonomi.

Berita terkait:

Disejumlah lokasi banjir, Rabu (14/7) di Kecamatan Luwuk Timur direndam banjir. Hanya berselang dua hari, Jumat 16 Juli 2021 sore banjir kembali melanda Desa Salodik Kecamatan Pagimana dan menyebabkan jalan trans longsor, dihari yang sama Desa Longgolian Kecamatan Bunta juga disapu banjir. Bulan lalu puluhan rumah warga di Desa Resarna, Kecamatan Balantak Selatan.

Tim Komisi IV DPRD Provinsi Sulteng terobos banjir Desa Bangketa, Kecamatan Nuhon Kabupaten Banggai. Dok media sosial facebook.

Menurut Kepala Departemen Advokasi WALHI  Khaeruddin banjir menerjang Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, bukan sudah seperti agenda rutinitas tahunanan.

“Tahun-tahun sebelumnya Kabupaten Banggai sudah menjadi langganan bencana banjir,” ungkapnya secara tertulis, Minggu (18/7/2021).

Terima kasih anda memberikan kepercayaan dengan membaca metroluwuk.com jaringan ZONAUTARA NETWORK. Simak informasinya. Tolak hoaks jadilah pembaca yang bijak.

Namun, tak sedikit paham sesat menganggapi terjadinya banjir di Kabupaten Banggai adalah fenomena alam dan curah hujan yang tinggi.
“Ini sangat menyesatkan dan harusnya, bencana ekologi di Banggai, sudah seharusnya dievaluasi terjadinya banjir bukan karena faktor alam atau curah hujan yang tinggi,” ujarnya.

Peristiwa banjir disebabkan tidak tersedianya daerah resapan air karena hutan makin berkurang. Dampak lainnya bukan hanya banjir tapi, secara universal dapat disebut merupakan bencana ekologis yang disebabkan oleh akumulasi kerusakan lingkungan yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

Baca juga:

Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah, dalam sepuluh tahun terakhir Kabupaten Banggai dikepung penetrasi pertambangan dan perkebunan sawit berskala besar. Saat kini sekitar enam perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah tersebut.

Banjir di Kecamatan Pagimana Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Dok media sosial facebook

Sementera itu, perkebunan kelapa sawit telah ikut andil membuka peluang terjadinya perubahan status kawasan hutan. Hal ini berimplikasi terhadap mengurangnya fungsi kawasan hutan sebagai wilayah penyangga yang memiliki daya tampung air.

“Bencana banjir bukanlah terjadi karena faktor alam semata, melainkan ini terjadi karena kerusakan hutan akibat maraknya aktifitas pertambangan dan perkebunan berskala besar di wilayah hulu” terangnya. Sambungnya,

Data komparasi Walhi Sulteng dan kelompok peduli hutan (KOMIU) menemukan, fakta di lapangan, Kabupaten Banggai menempati urutan pertama di Sulawesi dengan laju deforestasi hutan seluas 76.564,34 hektar sampai tahun 2018.

Data tersebut, pula terdukung dengan hasil penelitian Adreyanus Basuki dan dua akademisi Universitas Sam Ratulangi Manado bertajuk Analisis Tingkat Lahan Kritis Berbasis SIG (Sistem Informasi Geografis) di Kabupaten Banggai telah diberitakan dalam Jurnal Spasial Unsrat Volume 7 No. 2, 2020 menemukan fakta yang sama menyebutkan RTRW Kabupaten Banggai tahun 2012-2032, disebutkan total luas lahan kritis mencapai 116.076 Ha atau 12,35 persen dari luas wilayah kabupaten secara keseluruhan. “Namun pada hasil analisis Tahun 2019 luas lahan kritis mencapai ±378.439,20 hektar atau 42 persen dengan kenaikan 30 persen dan rata-rata kenaikan pertahun 2012-2019 adalah 5 persen laju kerusakan hutan.” ungkapnya.

Reporter | Irwan Merdeka

Berita lainnya:

  • Share